Pabrik Gula: Perpaduan Horor Jawa dan Kritik Sosial dalam Balutan Sinema Berkualitas
Review Film Pabrik Gula - Film Pabrik Gula, yang tayang perdana pada 31 Maret 2025, berhasil menciptakan atmosfer horor yang mencekam dengan balutan nilai-nilai budaya dan kritik sosial. Disutradarai oleh Awi Suryadi, film ini memperluas semesta KKN di Desa Penari dengan pendekatan yang lebih kelam dan simbolik, memadukan mitos lokal, kecelakaan kerja, serta spiritualitas khas Jawa Timur.
Cerita di Balik Pabrik Tebu
Film ini mengikuti sekelompok buruh musiman yang bekerja di sebuah pabrik gula tua di pelosok Jawa Timur. Di antaranya adalah Endah (diperankan oleh Ersya Aurelia), Fadhil (Arbani Yasiz), Naning (Erika Carlina), Wati (Wavi Zihan), dan Franky (Benidictus Siregar). Mereka datang dengan harapan mencari nafkah di musim panen, namun justru terjebak dalam teror yang berasal dari pelanggaran terhadap pantangan adat setempat.
Teror dimulai saat Endah tanpa sengaja mengikuti sosok misterius di tengah malam. Sejak saat itu, kejadian-kejadian ganjil mulai terjadi: suara-suara gaib, kecelakaan kerja yang tak masuk akal, hingga kemunculan kerajaan demit yang menyimpan dendam terhadap manusia.
Sutradara Awi Suryadi: Menciptakan Ketegangan Lewat Detail
Awi Suryadi, yang sebelumnya sukses dengan film KKN di Desa Penari, kembali menunjukkan kepiawaiannya dalam menyajikan ketegangan yang terukur. Ia menggunakan teknik kamera subjektif dan sinematografi intim untuk menghadirkan pengalaman yang nyaris personal bagi penonton—seolah-olah kita sendiri sedang dibuntuti oleh entitas gaib.
Lokasi syuting yang diambil langsung di kawasan pabrik tebu tua juga memberikan kesan otentik yang kuat. Suara mesin penggiling, desahan angin, dan pekikan makhluk halus menyatu menjadi latar suara yang efektif membangun atmosfer horor.
Penampilan Aktor dan Dinamika Karakter
Akting para pemain pantas diacungi jempol. Ersya Aurelia tampil kuat sebagai Endah yang rapuh namun berani. Erika Carlina menunjukkan dedikasi luar biasa dalam adegan ekstrem, termasuk satu adegan tanpa stunt yang dilakukan dalam satu take selama 3 menit.
Peran komedi pun tak ditinggalkan. Karakter seperti Franky, serta para pemeran pendukung seperti Sadana Agung, Arif Alfiansyah, dan Yono Bakrie, memberikan jeda emosional yang membuat film tetap seimbang meski sarat ketegangan.
Skenario, Tradisi, dan Kritik Sosial
Skenario ditulis oleh Lele Laila, yang terinspirasi dari thread horor viral karya Simpleman. Selain menawarkan kisah supranatural, film ini secara tidak langsung menyinggung isu-isu penting: ketimpangan sosial, eksploitasi buruh, dan ketakutan terhadap perubahan di tengah masyarakat yang masih memegang teguh adat.
Ritual-ritual Jawa seperti tumbal dan larangan menginjak lahan keramat, ditampilkan secara detail dan penuh penghormatan. Ini menjadi nilai tambah dalam menggambarkan kedalaman budaya lokal yang sering kali terpinggirkan.
Prestasi dan Respons Penonton
Tak butuh waktu lama bagi Pabrik Gula untuk mencetak kesuksesan komersial. Dalam waktu kurang dari dua minggu, film ini sudah melampaui 4 juta penonton, dengan pendapatan lebih dari Rp 110 miliar, menjadikannya film horor terlaris pada masa Lebaran 2025.
Meski begitu, film ini juga menuai kontroversi, terutama karena poster promosi yang dianggap terlalu sensual oleh LSF. Poster tersebut akhirnya ditarik dan diganti demi menyesuaikan dengan norma publik.
Kesimpulan: Horor Berkualitas yang Mengakar pada Tradisi
Pabrik Gula bukan sekadar film horor biasa. Ia adalah gabungan dari ketegangan, budaya lokal, dan kritik sosial yang dibungkus dalam produksi yang solid. Awi Suryadi kembali menunjukkan bahwa horor Indonesia mampu naik kelas tanpa kehilangan akar tradisinya.
Rekomendasi: Wajib ditonton bagi pecinta horor, penikmat budaya lokal, maupun mereka yang mencari film dengan pesan tersirat yang kuat.